April 18, 2024

Operasionalisasi Manhaj PPI

Tiga pendekatan sebagaimana tersebut pada Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatan ini pula hingga kini masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan muslim sendiri, dan sebagian non muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam sejarah pemikiran Islam, di mana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman. Mereka melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini untuk memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi dan menerima antar pendekatan (al-akhdzu wal al-‘itha’ bain al-manahij), kesinambungan (al-ittishal), saling memengaruhi (al-ihtikak) dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istidam). Sebagaimana yang dipahami, dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan wilayah pemikiran keislaman hanya bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi problem dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas tetapi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial keislaman serta tekanan pada nilai-nilai di wilayah etik dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan jaman era industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama.

Pembaharuan dan pengambangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosial-keagamaan, sosial-budaya, sosial-politik, sosial-ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika, rekayasa genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.

Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan ‘Irfani ? Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan pola hubungan antara ketiganya, Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linier, dan spiral.

Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, dimana masing-masing ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan paralel, mengasumsikan bahwa dalam diri seorang muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya dan tidak “berani” memberi masukan dari hasil temuan dengan pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain.

Sedangkan hubungan linier, pada ujung-ujungnya adalah “kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linier akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang muslim akan menepikan masukan yang diberikan/disumbangkan oleh metodologi lain, karena ia terlanjur menyukai salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya, akan mengantarkan seorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan dimana tradisi berpikir bayani tidak mengenal tradisi berpikir burhani atau irfani dan begitu sebaliknya.

Keduanya –baik yang paralel maupun yang linier– bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membawa wawasan dan gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah apa yang disebut “truth claim” (klaim kebenaran atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan linier –yang mengasumsikan adanya finalitas — akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polimes. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer, baru dapat mengantarkan seorang muslim pada pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan “kematangan religiusitas” seseorang, apalagi kelompok. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga metodologi yang ada, yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan “angin segar” di lingkungan komunitas Muhammadiyah.

Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidak-tepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun ‘irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas –untuk kasus-kasus tertentu– hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new-possibilites (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.

PENUTUP

  1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya selama argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat.
  2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini tetap berlaku.