April 24, 2024

kh ahmad badawiPolitik dan agama rasanya menjadi dua hal yang tak bisa dilepaskan dari sosok KH Ahmad Badawi. Walau begitu, bukan berarti kiai yang satu ini merupakan tipe orang yang suka ‘menjual’ agama untuk meraih kedudukan politik. Sekali lagi, ia bukanlah sosok semacam itu! Hal inilah kiranya yang perlu diteladani oleh para politikus masa sekarang.

Kiai Badawi lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 5 Februari 1902. Ia merupakan putra dari pasangan KH Muhammad Fakih dan Nyai Hj Sitti Habibah. Kedua orang tuanya adalah warga Muhammadiyah. Bahkan, Sitti Habibah merupakan adik kandung dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Seperti kebanyakan tokoh masa pra-kemerdekaan, ia juga turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Tercatat ia pernah menjadi Angkatan Perang Sabil (APS). Saat terjadinya agresi militer Belanda kedua, ia ditugaskan sebagai imam II APS untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bergabung di Batalyon Pati serta Resimen Wiroto, MPP Gedongan.

Setelah Indonesia merdeka, Badawi mengawali karier politiknya. Ia bergabung dengan Partai Masyumi. Pada 1950, namanya dikukuhkan sebagai wakil ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak memainkan peran penting karena partai ini kemudian dibubarkan.

Tak lagi berkecimpung dengan Masyumi, Kiai Badawi memfokuskan diri untuk mensyiarkan agama lewat Muhammadiyah. Ia sempat mengabdikan diri sebagai guru di madrasah milik Muhammadiyah. Namun, sikap istiqamahnya di bidang tabligh membuatnya diberi amanah sebagai ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Peran itu ia pegang pada 1933. Seiring waktu berjalan, amanah yang diberikan kepadanya terus bertambah.

Ikhtiarnya yang ikhlas membuat banyak pihak semakin menaruh hati kepadanya. Ia ditunjuk menjadi kepala Madrasah Za’imat yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada 1942. Di Madrasah Mualimat ini ia terobsesi memberdayakan potensi Muslimah untuk menjadi mubalighat yang andal.

Alhasil, puncak perjalanannya bersama Muhammadiyah ditandai dengan terpilihnya Kiai Badawi sebagai Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode. Periode pertama diamanahkan dari hasil Muktamar ke-36 Muhammadiyah di Jakarta. Ia diangkat sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1962-1965. Tiga tahun berikutnya, Kiai Badawi didaulat lagi sebagai ketua PP Muhammadiyah dari hasil muktamar di Bandung.

Memimpin Muhammadiyah pada masa itu bukanlah hal mudah. Di pengujung masa Orde Lama itu, posisi Muhammadiyah tersudut karena sejumlah kadernya cukup banyak yang menjadi pengurus Partai Masyumi. Partai ini merupakan partai yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Tersudutnya posisi Muhammadiyah juga tak lepas dari hasutan Partai Komunis Indonesia (PKI). Presiden Soekarno pun dihasut untuk menjauhkan diri dari Muhammadiyah. Meski Soekarno sendiri sudah mengenal Muhammadiyah, namun PKI tetap berupaya keras untuk menyematkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang anti-Pancasila, anti-Nasakom hingga ahli waris dari kelompok separatis DI/TII.

Masa-masa sulit itu mampu dilewati oleh Kiai Badawi secara perlahan dan tenang. Selama dua periode memimpin, ia memilih menempatkan Muhammadiyah untuk bisa bersikap dan berinteraksi terhadap persoalanpersoalan politik pada masa itu. Sikap ini perlu ditunjukkan karena kala itu anggota Muhammadiyah terus menggemuk jumlahnya. Tercatat pada 1962, anggota Muhammadiyah sebanyak 185.119 dengan jumlah anak ranting mencapai 2.300 serta 712 cabang. Anggotanya sendiri telah tersebar mulai dari Aceh hingga Papua (saat itu disebut Irian).

 KH A Badawi & Soekarno

Penasihat Presiden

Sikap Kiai Badawi yang cukup apik itulah yang kemudian menarik perhatian Soekarno. Pada 1963, Soekarno meminta Kiai Badawi untuk menjadi penasihat pribadinya di bidang agama. Setelah melewati pertimbangan yang masak, permintaan itu disetujui oleh Kiai Badawi. Namun, ia tak sedikit pun memanfaatkan posisi itu untuk mengejar ambisi pribadi.

Sebaliknya, ia mampu menjadi penyeimbang bagi masukan-masukan yang diterima Soekarno. Seperti ditulis di laman resmi Muhammadiyah, Kiai Badawi berhasil mengendalikan Soekarno untuk tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang terus menggerogotinya. Secara rutin, Kiai Badawi memberikan siraman rohani kepada sang presiden. Nasihat dan pandangan agama diberikan seakan tak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi selalu memberikan nasihatnya kepada Bung Karno. Dalam memberikan nasihat, Kiai Badawi bukanlah tipe orang yang gemar memberi masukan atau laporan ABS (Asal Bapak Senang). Artinya, ia tetap menyampaikan nasihat secara substansi dan kritis. Tak heran jika Soekarno selalu menyimak setiap masukan sang kiai. Bahkan, Soekarno pun sering meminta para menterinya untuk memperhatikan nasihat-nasihat agama dari Kiai Badawi.

Selepas masa Orde Lama, peran sebagai penasihat masih tetap dijalankan Kiai Badawi. Presiden Soeharto, pemimpin Orde Baru, rupanya ingin pula menjadikan Kiai Badawi sebagai penasihat, seperti halnya yang dilakukan kiai Muhammadiyah itu terhadap pendahulunya, Soekarno. Permintaan itu diterima. Hanya saja, ia tak bisa menjalankan peran itu secara optimal. Usia Kiai Badawi yang telah merangkak 66 tahun membuat kondisi fisiknya melemah akibat serangan penyakit.

Kiai Badawi wafat pada Jumat, 25 April 1969, pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu, ia masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung yang dipegangnya dari tahun 1968. Sedangkan di Muhammadiyah, ia masih tercatat sebagai penasihat PP Muhammadiyah periode 1969- 1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.

 Hasil Didikan Pesantren

Rasanya tak banyak pimpinan Muhammadiyah yang mengeyam pendidikan dari dunia pesantren. Dari yang sedikit itu, menyeliplah nama KH Ahmad Badawi. Pria yang pernah memimpin Muhammadiyah selama dua periode pada 1962- 1965 dan 1965-1968 ini merupakan sosok yang pernah menimba ilmu agama dengan berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.

Perjalanan hidupnya sebagai santri diawali ketika usianya baru menginjak enam tahun. Selepas mengenyam ilmu agama dari sang ayah, pria kelahiran 5 Februari 1902 ini berkelana ke Pondok Pesantren Lerab, Karanganyar. Di tempat ini ia mendalami ilmu nahwu dan sharaf. Di sini, Badawi belajar sampai tahun 1913. Petualangannya menimba ilmu di pesantren tak berhenti sampai di situ. Ia kemudian belajar kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Pada saat ini, usianya telah menanjak 11 tahun. Di Pacitan, ia hanya nyantri selama dua tahun. Pada 1915, ketika Badawi berusia remaja, ia ‘mondok’ di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruan. Hampir lima tahun ia mendalami ilmu agama di tempat ini. Dari situ, ia pun berlabuh di Pesantren Pandean, Semarang. Namun, sebelumnya ia sempat nyantri secara singkat di Pesantren Kauman.

Selain belajar di pesantren, Badawi muda juga sempat menempuh pendidikan formal yakni di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta. Nah, jika dihitung sejak awal nyantri pada usia enam tahun, Badawi secara total menghabiskan waktu selama 19 tahun untuk menjadi santri di berbagai pesantren. Tentu saja, ini bekal sangat berharga untuk mematangkan kepribadian dan meluaskan wawasan keagamaan Kiai Badawi.

Di tengah kesibukannya berorganisasi di Muhammadiyah serta menjadi penasihat presiden, KH Ahmad Badawi tak pernah lupa untuk menuangkan ilmu dan pandangannya dalam bentuk tulisan. Selain menguasai berbagai ilmu keagaman seperti hadis dan fikih, Kiai Badawi juga dikenal luas sebagai ahli ilmu falak. Khusus dalam bidang ilmu falak, Kiai Badawi menulis sejumlah buku yang ditulis rapi dengan tangan, baik dalam huruf Arab maupun Latin. Buku-buku tersebut, antara lain “Djadwal Waktu Sholat Se-lama2nja”, “Tjara Menghitoeng Hisab Haqiqi Tahoen 1361 H”, “Hisab Haqiqi”, dan “Gerhana Bulan”.

(Diambil dari republika.co.id)

Leave a Reply